Alas Kedaton

Oleh karena sudah cukup dewasa putera yang buncing itu,lalu mereka berdua itu dikawinkan disebut dibuncingkan,serta dinobatkan sebagai Raja berkuasa di Bali dengan nama Bhiseka(penobatan)beliau Bhatara Pramecwara Cri Wirama nama Ciwaya,Cri Dhana Dhiraja lancana,dan Raja wanitanyaPaduka Bhatari Cri Dhana Dewiketu.Dan keduanya ini disebutkan Mahecwara Mahecwari namanya,Mahesora Mahesori disebut,dan juga disebutkan oleh orang Nusantara mahasula Mahasuli namanya dan Masula Masuli.itu dibisaakan di Bali dan Nusantara,tentang adanya Raja Masula Masuli,sampai sekarang………dan seterusnya.

Pura Kedaton ini menghadap ke Barat, dimana terdapat 4 buah”pamedal”(pintu) sebagai tempat masuk dan keluar dan merupakan hal yang istimewa,karena pada Pura atau Kahyangan lainnya tidak lazim dijumpai,yaitu: Dari arah Barat terdapat sebuah pemedal(pintu)dalam bentuk Candi Bentar sebagai tempat masuk dan keluar ke dan dari Jaba Tengah.

Dari arah samping Utara terdapat sebuah pemedal (pintu) sebagai tempat masuk dan keluar ke dan dari Jaba Tengah.Dari arah samping Selatan terdapat sebuah pemedal (pintu) sebagai tempat masuk dan keluar ke dan dari Jaba Tengah.Dari arah belakang yaitu Timur terdapat sebuah pemedal (pintu) sebagai tempat masuk dan keluar ke dan dari Jaba Tengah.

Halaman Pura atau Kahyangan ini memiliki keunikan yaitu halaman Jeroan letaknya lebih rendah dari halaman jaba tengah, dan di dalam Pura atau Kahyangan ini disamping terdapat pelinggih-pelinggih ( Bangunan Suci ) sebagaimana halnya Pura – pura atau Kahyangan lainnya, juga terdapat “ Lingga “ dan “ Arca “ serta 2 (dua) buah diantaranya ialah :
Arca ( patung ) “ Durgha Mahisacura Mardhani “ bertangan 8 ( delapan ) buah yang pada tangan kanannya dari atas ke bawah masing – masing memegang “ Camara “ ( penghalau lalat ), “ Sara “ ( panah ), “ Pisau besar “ dan memegang ekor lembu. Sedang empat buah tangan kirinya dari atas ke bawah masing-masing memegang “ “ Kadga “ , “ Busur Panah “, “ Trisula “ dan “ Gadha “ . Arca ( patung ) ini berdiri di atas seekor lembu, memakai penutup dada dan lancingan ( kancut ) yaitu ujung kain yang cukup panjang.

Arca ( patung ) Ghanesya duduk di atas kembang “ Tunjung “ ( teratai ) dan 2 ekor naga ( Ular ), dimana tangan kanannya memegang ” tasbih “ serta tangan kirinya memegang “ Kapak dan belalai “, dengan “ Ekadanta “ ( taringnya hanya satu ). Ada dugaan bahwa 2 ekor naga ( Ular ) tersebut adalah merupakan candra cangkala yang berbunyi “ Dwi Naga Ghana Tunggal “

Pangempon ( pangemong ) Pura Kadaton ini adalah Desa Adat Kukuh, sedang menurut bunyi lontar Usana Bali sebagaimana sudah diungkapkan didepan PURA KADATON ini adalah berstatus penyungsungan jagat.Demikianlah antara lain disebutkan tentang asal usul berdirinya Pura Kadaton ini, yang dibangun oleh Mpu Kuturan atau Mpu Raja Kretha pada zaman pemerintahan Raja Cri Masula Masuli berkuasa di Bali.Pura dalem kahyangan kedaton merupakan pura peninggalan purbakala peninggalan jaman megalitikum yang lokasinya di tengah hutan alas kedaton, tepatnya di desa kukuh, kecamatan marga, tabanan. Pura yang konon didirikan pada tahun  caka 1286atau 1.364 masehi ini memiliki  banyak keunikan. Apa itu? Bila pada umumnya pura di bali memiliki pintu masuk tak lebih dari dua, pura dalem kahyangan kedaton justru memiliki empat pintu masuk yang terdapat di empat penjuru mata angin (nyatur desa) yakni barat, selatan, timur dan utara. Inilah keunikan yang dapat kita jumpai pertama. Demikian pula kalau kita perhatikan posisi pelemahan pura. “makin ke utama mandala makin rendah. Justru mandala utama (jeroan dalem) posisinya paling rendah yang berbeda dengan posisi pelemahan pura di bali yakni makin ke utama mandala makin tinggi,” ujar jro mangku ketut sudira didampingi bendesa adat kukuh.

Selain keunikan fisik, sarana upakara saat pujawali juga banyak keunikannya. Pada umumnya pura di bali sarana sembahyang berupa dupa dan kwangen, beda dengan pura dalem kahyangan kedaton. Bersembahyang di pura yang dikelilingi ribuan monyet dan ratusan kelelawar ini pantang menggunakan dupa dan kwangen. Demikian pula dengan penggunaan penjor. “saat karya ataupun pujawali di pura dalem kahyangan kedaton kita tidak akan jumpai penjor sebagaimana lazimnya karya atau pujawali di bali. Ini juga merupakan sesuatu yang unik,” sebutnya. Demikian halnya dengan penggunaan ceniga, di pura dalem kahyangan kedaton tidak menggunakan ceniga mereringgitan, cukup pakai ceniga yang hanya terbuat dari daun pisang mas.

Penggunaan jaja begina warna merah juga tidak diperbolehkan  di pura ini.Jika ditanya keunikan lain, di pura dalem kahyangan kedaton masih dapat kita jumpai yang berbau unik. Di mandala utama atau jeroan pura, para pemangku di sana saat mereresik (bersih-bersih) tidak menggunakan sapu lidi, melainkan menggunakan sapu yang terbuat dari ranting-ranting pohon. Rangkaian pujawali harus sudah selesai sebelum matahari terbenam, pasalnya di mandala utama tidak diperkenankan menggunakan sunar (lampu) karena berpantang menggunakan sarana api. Saat rangkaian upacara selesai diiringi dengan tradisi ngerebeg, yakni berlari dengan menggunakan sarana seperti tumbak, lelontek, tedung, atau dengan sarana-sarana terdekat seperti ranting yang berisi daun. Semua bersorak gembira untuk mengikuti tradisi ngerebeg.

Piodalan di pura ini jatuh pada anggara kasih medangsia atau 10 hari setelah hari raya kuningan. Sebagai bentuk bangunan purbakala, di pura ini banyak terdapat peninggalan sejarah  dari jaman megalitikum. Dipura ini banyak ditemukan tempat pemujaan yang berasal dari batu   berupa  menhir.  Menhir ditemukan di jaba tengah sebanyak dua buah yang kemudian disebut sebagai pelinggih ancangan dan pelinggih pengawal. Selain itu juga ditemukan banyak arca dari batu.  Diantaranya arca dewi durga, arca ganesha yang dililit dua ekor naga yang juga melambangkan angka tahun pembuatan pura yakni tahun caka 1286atau 1.364 masehi. Selain itu juga terdapat lingga yoni lambang kesuburan. Dipercaya oleh masyarakat du pura dalem kahyangan kedaton berstana ida bhatara tri murti yakni brahma, wisnu, dan siwa. Dimana pada meru dalem yang posisinya di bagian utara dipercaya stana dewa brahma. Dalem tengah terdapat lingga yoni lambang kesuburan yakni wisnu. Di meru dalem paling selatan terdapat archa ganesha dan arca dewi durga yang merupakan sakti dewa siwa.

Berdasarkan arca inilah diyakini ida sang hyang widhi dalam wujud tri murti berstana di pura ini.Disamping keunikan yang dimiliki keberadan pura kahyangan dalem kedaton merupkan bagian dari peradaban hindu yang berasal dari jaman megalitikum yang bisa dilihat dari bentuk banguan pura dan banyak menhir dan arca yang ditemukan. Bahkan kini pura yang berada diareal hutan kedaton ( alas keadotn) seluas 6,4 hektar ini merupakan bagian dari situs kepurbakalaan. Terkait keberadaan pura ini, menurut mantan bendesa pekraman Kukuh IGM Purnayasa, pihaknya mencoba memberikan pemahaman kepada semua warga dan pengunjung apa dan bagaimana pura kahyangan dalem kedaton ini. Untuk itu pihaknya telah membuat sebuah buku tentang pura tersebut dalam dua bahasa yakni bahasa indonesia dan bahasa inggris. “lewat buku itu pengunjung maupun masyarakat akan mengenal mengenai keberadaan pura serta tradisi yang ada di pura  yang disungsung warga desa pakraman kukuh, marga ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *